Jogja yang Dulu (1)

Jogja yang Dulu (1)
.
.
.
Sebagai mahasiswa yang cukup legend, boleh lah aku cerita ke mahasiswa-mahasiswa anyar atau orang-orang yang baru memulai petualangan hidup di Jogja. Kali ini ceritanya cocok disimak buat yang hobi baca buku. Bagi yang gak suka baca buku, tinggalkan saja tulisan ini dari pada waktu Anda terbuang sia-sia.
.
Aku mulai jadi Maba tahun 2013. Lumayan sering main ke beberapa toko buku, salah satunya Gramedia. Yang aku sambangi, kalau gak Gramedia Amplaz ya Gramedia Jensud. Dari kampus UIN ke timur 650 meter, sampailah di Gramedia Amplaz. Kalau ke Gramedia Jensud, dari UIN jalanlah ke barat 2,3 KM.
.
Dulu ya.... Di Gramedia disediakan beberapa tempat duduk empuk buat pengunjung yang mau baca-baca buku. Mungkin maksud awalnya, sebelum membeli, pihak toko memberikan fasilitas pada konsumen untuk membaca sekilas isi beberapa buku, sehingga nanti bisa menentukan buku mana yang paling mantap dan layak dibawa pulang dengan lebih dulu bayar di kasir. Namun yang terjadi tidak sesuai ekspektasi pihak toko. Banyak orang yang malah menganggap Gramedia sebagai perpustakaan. Jadi, orang-orang betah duduk lama membaca buku tanpa merasa berdosa dan tidak membeli buku. Alias sekadar numpang baca.
.
Tidak mau rugi, Gramedia akhirnya menyingkirkan bangku-bangku tadi. Maka jamaah numpang baca mulai kelimpungan. Saat ini mereka terpaksa numpang bacanya sambil berdiri. Logikanya, kalau baca sambil berdiri itu kurang nikmat. Jamaah numpang baca gak bisa lama-lama. Kalau kaki sudah pegel, mungkin dia akan lekas pulang. Dulu kan enak, bisa duduk, bisa senderan, bisa lama-lama. Bisa khatam satu buku dalam sekali duduk. Aku pernah khatam satu buku di Gramedia, tapi ini dulu banget, dan tempatnya di Gramedia Purwokerto.
.
Kebijakan penghilangan bangku ini mungkin mengurangi populasi jamaah numpang baca (JNB). Hanya umat yang tangguh saja masih bertahan "beribadah" numpang baca dari dulu sampai zaman sekarang. Oya, dulu kata CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo, sewaktu skripsi beliau juga sering numpang baca buku di Gramedia karena beliau gak sanggup membeli buku. Ayo kita tepuk tangan buat beliau. Prok... Prok... Prok...
.
JNB pertama baca sambil berdiri. Ketika mulai lelah, mereka duduk atau jongkok atau duduk sambil senderan di tembok. Tapi sering banget satpam menegur "Mas, gak boleh duduk ya. Mas, gak boleh jongkok ya." Mereka dengan berat hati berdiri lagi. Setelah dongkol, mereka pulang tanpa membeli buku. Tapi mereka lumayan puas, sudah dapat inspirasi dari aktivitas numpang baca. Mereka numpang baca di Gramedia karena mayoritas buku yang mereka nikmati adalah buku baru dan belum ada di perpustakaan.
.
Bersyukur dulu aku pernah menikmati numpang baca yang ada tempat duduknya. Hehe. Sekarang meski gak ada tempat duduknya, aku juga masih aktif di JNB. Teman, jangan bilang-bilang ya kalau aku ini presiden JNB. Hehe. Di negara JNB, presiden dan rakyatnya itu tidak saling mengenal, tapi saling memahami. Presiden JNB juga bukan jabatan yang diperebutkan dengan membabi buta. Kalau kamu mau, ya boleh, ambil saja....
.
Kepada Pak Gramedia, meski aku sering numpang baca, aku juga sering banget belanja buku di tokonya Bapak. Terutama kalau lagi ada Event Promo. Biasanya aku belinya jutaan (buat dijual lagi). Mungkin akumulasi udah ada 100 juta. Harusnya aku dapat apresiasi nih... Misalnya dikasih sertifikat, atau dikasih kartu member spesial, atau dikasih fasilitas spesial.
.
Gramedia Jensud udah kaya rumahku sendiri. Saking seringnya main ke situ, para karyawan sampai hafal mukaku. Sehafal Pancasila itu ada lima. Sehafal warna trafick light itu ada tiga.
.
Kenapa aku lebih sering ke Gramedia Jensud dari pada Gramedia Amplaz? Padahal jika diukur pakai penggaris, jaraknya lebih dekat ke Gramedia Amplaz? Karena kalau ke Amplaz pulangnya muter agak jauh, kalau berangkatnya mah gampang. Gramedia Jensud meski agak jauh tapi tempatnya strategis banget. Dekat sama Perpustakaan Kota dan Toko Buku Togamas Kotabaru. Juga, Gramedia Jensud sering ada event Buku Obral.

Sekian dulu.

Salam RinduBuku (di add FBnya ya.....).

Amin Sahri

Jogja, 31 Desember 2018

Komentar